Jakarta – Polemik antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan epictoto pengamat militer Ferry Irwandi terus bergulir dan menyita perhatian publik. Belakangan, muncul kabar bahwa pihak TNI berencana menempuh jalur hukum dengan melaporkan Ferry atas pernyataannya yang dianggap merugikan institusi. Namun, ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa langkah tersebut tidak bisa dilakukan secara sembarangan, terlebih jika mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait kedudukan hukum TNI sebagai institusi negara.
TNI Tidak Bisa Bertindak Sebagai Subjek Hukum Pidana
Menurut Yusril, TNI merupakan institusi negara yang bersifat publik. Karena itu, TNI tidak bisa diperlakukan layaknya individu atau badan hukum privat yang memiliki hak untuk mengajukan laporan polisi. “TNI adalah bagian dari negara, dan berdasarkan ketentuan hukum positif kita, negara tidak bisa melaporkan seseorang secara pidana karena merasa dirugikan. Yang bisa melapor adalah individu yang secara langsung merasa nama baiknya tercemar,” jelas Yusril.
Dengan kata lain, jika ada pernyataan Ferry Irwandi yang dianggap menyerang institusi, maka tindak lanjutnya tidak bisa langsung berupa laporan polisi atas nama TNI. “Yang bisa melapor hanyalah pejabat perorangan, misalnya Panglima TNI atau pejabat tertentu, tapi bukan atas nama institusi TNI,” tambahnya.
baca juga: kpk-ungkap-awal-mula-rk-diduga-terima-uang-korupsi-iklan-bjb
Putusan MK Jadi Rujukan
Yusril juga mengingatkan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa lembaga negara tidak dapat menjadi subjek tindak pidana pencemaran nama baik. Putusan tersebut menyatakan bahwa yang bisa merasa dirugikan atas suatu pernyataan hanyalah subjek hukum perseorangan, bukan lembaga negara.
“Mahkamah Konstitusi sudah sangat jelas. Jika ada kritik terhadap lembaga, itu bagian dari demokrasi dan kebebasan berpendapat. Lain halnya jika kritik itu mengarah pada serangan pribadi terhadap pejabat tertentu, maka pejabat itu yang punya hak untuk menggugat atau melapor,” tegas Yusril.
Dengan merujuk pada putusan tersebut, langkah TNI melaporkan Ferry berpotensi tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Konteks Pernyataan Ferry Irwandi
Ferry Irwandi sendiri dikenal sebagai pengamat militer yang kerap mengkritisi kebijakan pertahanan maupun langkah strategis TNI. Beberapa waktu lalu, Ferry menyampaikan analisis yang dinilai sebagian kalangan terlalu tajam dan menyerang institusi TNI secara keseluruhan. Pihak TNI merasa pernyataan itu merugikan citra dan kewibawaan institusi.
Namun, dalam perspektif hukum tata negara, kritik terhadap lembaga publik merupakan bagian dari dinamika demokrasi yang tidak bisa serta-merta dianggap sebagai tindak pidana. “Kalau semua kritik dipidanakan, itu berbahaya bagi kebebasan berpendapat. Negara harus bisa menerima kritik,” ujar Yusril.
Kebebasan Berpendapat vs. Perlindungan Nama Baik
Kasus ini kembali membuka perdebatan klasik antara batas kebebasan berpendapat dengan perlindungan nama baik. Banyak pihak menilai bahwa pernyataan Ferry mungkin keras, namun hal itu seharusnya direspons melalui ruang publik, bukan melalui proses hukum pidana.
Yusril menekankan, penyelesaian kasus seperti ini lebih baik dilakukan melalui klarifikasi, dialog, atau pernyataan resmi yang meluruskan tuduhan, bukan dengan menggunakan pasal pidana. “Negara, dalam hal ini TNI, punya saluran resmi untuk menjawab kritik. Tinggal keluarkan penjelasan resmi, agar publik mendapatkan informasi yang seimbang,” jelasnya.
Penutup
Pernyataan Yusril Ihza Mahendra menjadi penegasan penting bahwa TNI sebagai institusi negara tidak bisa begitu saja melaporkan seseorang ke kepolisian terkait dugaan pencemaran nama baik. Putusan MK menegaskan lembaga negara bukan subjek hukum pidana dalam perkara seperti ini. Dengan demikian, polemik antara TNI dan Ferry Irwandi sebaiknya diselesaikan lewat jalur komunikasi yang sehat, bukan kriminalisasi.
sumber artikel: www.timeuptodate.com